
Di penghujung tahun 2018 Ibu Pertiwi kembali berduka. Tepatnya pada Sabtu, 22 Desember 2018 giliran kawasan pesisir pantai Banten dan Lampung Selatan yang diterjang gelombang tsunami. Tsunami Selat Sunda ini disebut berbeda dari tsunami yang pernah terjadi karena tak didahului gempa bumi. Dampak bencana tsunami Selat Sunda melanda beberapa daerah seperti pantai barat Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang dan di pantai selatan Provinsi Lampung meliputi Kabupaten Lampung Selatan, Tanggamus, dan Pesawaran. BMKG menyebut tsunami ini diduga disebabkan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau. Erupsi mengakibatkan gelombang arus pasang naik, menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG tsunami Selat Sunda juga dipicu oleh gelombang pasang karena bulan purnama.
Jika kita menoleh ke belakang lebih jauh lagi, tentu akan ada begitu banyak bencana alam yang menimpa negeri ini, mulai dari longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan seterusnya seolah berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya masing-masing. Berbagai bencana tersebut datang bergantian satu demi satu seolah tak lelah meluluhlantakkan negeri ini. Begitu banyak kerugian yang diakibatkan oleh bencana-bencana tersebut. Ribuan manusia meninggal dunia, ribuan gedung dan bangunan rusak parah, jalan-jalan menjadi terputus meluluhlantakkan sendi ekonomi masyarakat yang terkena musibah, bertumpah ruah air mata menyaksikannya. Jika dihitung-hitung ada triliunan lebih, rupiah habis dan ludes disebabkan oleh kehadiran bencana alam di negeri ini. Apalah hendak dikata takdir negeri ini memang begini, alam penuh kekayaan tetapi terdapat juga bencana alam yang siap menerjang kapan saja tanpa rasa keraguan.
Dibalik bencana alamnya yang hadir silih berganti tanpa diminta tanpa lelah, ada sisi menakjubkan dari anak negeri ini, yakni energi yang tak pernah habis dan selalu bertumbuh dalam setiap bencana alam yang terjadi. Energi tersebut menjadi-jadi terlebih dibumbui oleh rasa kebersamaan dan rasa sepenanggungan dalam menerima musibah tanpa dibatasi sekat-sekat suku, agama, ras, dan etnik tertentu. Sekat-sekat tersebut dianggap tipis atau bahkan tidak ada sama sekali, yang ada adalah sikap kemanusiaan yang tinggi disertai jiwa kerelawanan untuk berbuat kebaikan dan menolong sesama manusia. Semacam ada perlombaan antara silih bergantinya bencana dan kepedulian anak negeri terus menerus mengalir ke sesama. Ketika bencana terjadi, di sisi yang lain anak-anak negeri tanpa lelah menolong saudaranya. Hal ini menandakan adanya energi yang besar dalam jiwa kerelawanan disertai motivasi yang kuat untuk kemanusiaan. Di saat badai melanda negeri, energi anak-anak bangsa terus mengangkasa. Sungguh menakjubkan anak-anak negeri ini. Di kala badai melanda, bencana silih berganti, energi kemanusiaan dan kerelawanan mereka tak putus.
Sebagai seorang aktivis yang aktif di organisasi kampus, saya merasakan betul tatkala bencana datang melanda, teman-teman aktivis dari berbagai genre organisasi, baik organisasi pergerakan, kerohanian, kedaerahan maupun yang lainnya mereka selalu tanggap dan tangkas menyikapi keadaan. Anak-anak ini memiliki motivasi yang kuat untuk ikut berpartisipasi dalam penanganan bencana. Saat mendapatkan informasi bahwa telah terjadi bencana di suatu tempat, mereka sesegera mungkin langsung melakukan konsolidasi menyiapkan racikan strategi untuk menyikapi bencana tersebut. Umumnya beberapa organisasi tersebut melebur secara bersama-sama melakukan penggalangan dana yang kemudian hasil penggalangan dana tersebut dikirimkan melalui lembaga-lembaga tertentu untuk diserahkan kepada para korban bencana yang membutuhkan. Terkadang juga mereka menunjuk perwakilannya masing-masing untuk meninjau dan secara langsung memberikan bantuan tersebut. Mereka rela beberapa hari berdiri di pinggir jalan, ke ruang-ruang kelas untuk mengajak partisipasi semua orang membantu korban bencana. Berpeluh keringat, disertai panas dingin cuaca dihadapi atas dasar kepedulian kepada sesama manusia. Tentu banyak keterbatasan mereka, akan tetapi dibalik keterbatasan itu semua nampaklah semangat kepedulian mereka. Energi anak-anak negeri seolah tak pernah habis, tak peduli siapa yang mereka bantu, yang ada di pikirannya hanyalah yang terkena musibah adalah saudara saya dan saya merasakan itu. Perlu digarisbawahi juga mereka melakukan itu semuanya tanpa motif apapun tidak mengharapkan imbalan ataupun mencari keuntungan, melainkan hanyalah sebuah energi kemanusiaan dan berasaskan rasa sepenanggungan. Inilah sebagian potret anak-anak energi ini dalam menghadapi badai bencana yang melanda negerinya, energi mereka tak pernah habis, selalu ada dan selalu enerjik.
Potret anak negeri dalam menghadapi badai merupakan karakter bangsa Indonesia itu sendiri yang terkenal dengan semangat gotong royong. Hal ini dapat kita anggap sebagai nilai nasionalisme bangsa yakni sikap ataupun paham untuk cinta tanah air dan cinta kepada bangsa Indonesia. Kekuatan cinta itulah yang mampu melahirkan keikhlasan, kemauan, dan juga pengorbanan. Ikhlas dalam beramal tanpa mengharapkan apapun membuat tapak langkah selalu maju ke depan selalu memberi tanpa pamrih. Kemauan dalam menyebarluaskan nilai-nilai kebaikan akan memberikan nafas panjang perjuangan sehingga energi kepedulian takkan surut apalagi habis. Dan juga pengorbanan dalam berbuat baik juga berefek kebaikan untuk semuanya. Sehingga ketiga hal ini memungkinkan untuk tumbuh kembangnya energi kepedulian sesama anak bangsa tanpa dibatasi sekat-sekat suku, agama, ras, dan etnik tertentu. Sekat-sekat ini hanyalah kecil semata atau bahkan tidak ada, yang terpatri hanyalah kepedulian dan kemanusiaan.
Kini telah memasuki masa waktu yang baru, tahun 2019. Badai bencana selalu menguntit untuk hadir dan menunjukkan eksistensinya. Kewaspadaan senantiasa harus terjaga terlebih lagi nyala energimu harus terus berkobar.
Oleh:
Ahai Septa Maja
Staff Komisi B FSLDK Sumsel